Gambar App
XSpace Radio
Dapatkan info lengkap disini

Mengapa Micin Punya Reputasi Buruk

Saturday, 10-4-2021 09:12 103

Gambar Konten

Penulis: Syifa Nuri Khairunnisa
 | 
Editor: Silvita Agmasari

Selama ini monosodium glutamat (MSG) atau yang juga dikenal sebagai mecin atau micin selalu memiliki reputasi yang buruk terhadap kesehatan.

"Kebanyakan makan mecin sih," adalah frasa konotasi buruk yang sering dilontarkan anak mudah Indonesia. 

Reputasi MSG sebagai bahan penyedap tidak sehat terus terpelihara, walaupun hampir tidak ada bukti yang menunjukkan kebenaran reputasi tersebut.

Lantas, mengapa MSG bisa mendapatkan reputasi buruk tersebut?

Dilansir Discover Magazine, reputasi buruk MSG muncul ketika seorang ilmuwan menulis sebutan “Chinese Restaurant Syndrome” dalam surat yang ia kirimkan ke The New England Journal of Medicine dan terbit pada 1968.

Ilmuwan bernama Robert Ho Man Kwok tersebut mengalami gejala yang buruk setelah memakan banyak makanan China.

Gejala-gejala tersebut di antaranya adalah detak jantung tak beraturan, tubuh yang terasa lemah, dan sensasi lumpuh yang aneh.

Dalam surat tersebut, ia menyebut bahwa MSG yang ditambahkan dalam makanan China tersebut bisa jadi biang kerok di balik gejala yang dideritanya.

Lama kelamaan reputasi buruk tersebut semakin bertumbuh dan kuat.

Gejala-gejala yang dilaporkan “terkait” dengan MSG pun bertambah, seperti sakit kepala, berkeringat, mual, dan sakit pada dada.

Kepanikan yang muncul soal bagaimana para koki di restoran China menggunakan MSG ini semakin lama semakin bertumbuh. Di New York, otoritas kesehatan bahkan pernah menulis surat pada produsen makanan China.

Mereka meminta para produsen tersebut untuk menggunakan lebih sedikit MSG. Surat tersebut tidak pernah dikirim ke produsen makanan lain selain makanan China.

Seorang ahli kesehatan meminta mengganti sebutan “Chinese Restaurant Syndrome” dengan nama lain yang tidak spesifik merujuk pada kuliner tertentu. 

Sebab bahan MSG bisa ditemukan di berbagai jenis makanan. Namun saran tersebut sama sekali diabaikan.

Seperti tertera dalam penelitian berjudul “‘That Won-Ton Soup Headache’: The Chinese Restaurant Syndrome, MSG and the Making of American Food, 1968–1980” karya Ian Mosby dan terbit dalam Social History of Medicine, Vol. 22, Issue 1, April 2009.

Mosby menulis bahwa masih banyak penelitian hingga tahun 1980-an yang dilakukan terkait gejala yang disebabkan MSG.

Penelitian-penelitian itu masih menggunakan nama “Chinese Restaurant Syndrome”.

Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait hal ini dilakukan sekitar tahun yang sama.

Dilansir Men's Health, para ilmuwan meneliti sekelompok tikus yang masih kecil yang diberi suntikan MSG dalam dosis besar.

Tikus-tikus tersebut menerima sekitar 25.000 miligram MSG per kilogram. Dampaknya, mereka mengalami kemunduran fungsi otak.

Ketika tikus tersebut tumbuh dewasa, mereka punya ukuran tubuh yang lebih kecil. Mereka juga mengalami obesitas dan kesulitan reproduksi.

Kesimpulannya, para ilmuwan dalam penelitian tersebut menyarankan wanita hamil untuk menghindari MSG.

Mereka takut bahwa dampak yang sama akan terjadi pada bayi-bayi yang sedang dikandung.

Hingga kini, masih banyak restoran yang memberi label “Tanpa MSG” pada makanan mereka untuk menenangkan orang-orang yang merasa mengalami gejala ini setelah mengonsumsi MSG.

Fakta MSG yang sebenarnya

Dilansir Smithsonian Magazine  berdasarkan penelitian Ian Mosby, penelitian yang dilakukan banyak ilmuwan berusaha membuktikan bahaya jangka pendek atau pun jangka panjang dari MSG.

Selain penelitian yang melibatkan tikus tersebut, ada juga penelitian yang melibatkan manusia.

Individu-individu tersebut diberikan dosis tiga gram MSG per 200 ml sup. Mereka menunjukkan gejala yang cocok dengan “Chinese Restaurant Syndrome”.

Namun, semakin banyak penelitian bertahun-tahun, hasil yang didapatkan semakin rumit. 

Beberapa penelitian mengonfirmasi ditemukannya otak yang terdampak pada hewan dan gejala tertentu pada manusia karena MSG. Namun, penelitian lain tidak menunjukkan hasil yang sama.

Banyak penelitian yang bahkan menunjukkan hampir tidak ada korelasi antara MSG dan gejala-gejala tersebut.

Misalnya, International Headache Society pada Januari 2018 menghapus MSG dari daftar faktor yang menyebabkan sakit kepala, setelah banyak penelitian menunjukkan tak ada koneksi di antara keduanya.

Kemudian pada Desember 2018, Profesor psikiatri dan farmakologi di Universitas Pittsburgh John Fernstrom mempublikasikan penelitian yang mengulas soal dampak penyakit dari MSG.

Kesimpulan penelitian tersebut menunjukkan bahwa MSG yang terkandung dalam makanan tidak menyebabkan dampak buruk pada otak manusia.

Mengonsumsi glutamat alias MSG juga tidak bisa menembus pembatas antara darah dan otak.

Orang-orang Amerika biasanya mengonsumsi 500 miligram MSG per hari atau sekitar tujuh miligram per kilogram per hari untuk orang dengan berat badan 70 kilogram.

Jumlah konsumsi MSG tersebut memang tak setinggi jumlah konsumsi MSG di budaya Asia.

Namun, tetap tidak mendekati jumlah 25.000 miligram per kilogram megadose MSG yang digunakan pada penelitian terhadap tikus-tikus tersebut.

Banyak penelitian yang menunjukkan adanya korelasi antara dampak fisik buruk pada manusia dengan konsumsi MSG hanya terjadi ketika MSG diberikan dalam dosis sangat besar.

Hingga akhirnya, lembaga-lembaga di dunia dengan tegas menyatakan MSG adalah bahan penyedap yang aman dikonsumsi.

Seperti Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, World Health Organization (WHO), dan juga Kementerian Kesehatan RI.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh WHO dan Food and Agriculture Organization (FOA) Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), mereka tidak bisa mengonfirmasi adanya keterkaitan MSG dalam “Chinese Restaurant Syndrome”.

Sindrom tersebut semata muncul berdasarkan bukti anekdot.

Pada intinya dari penelitian WHO dan FOA disimpulkan, tak perlu takut pada MSG.

MSG hanya akan membuat makanan terasa enak karena akan memberikan rasa umami pada makanan.

Selain itu, glutamat yang merupakan elemen kunci dalam MSG juga terkandung dalam banyak bahan makanan alami seperti daging, ikan-ikanan, rumput laut, keju parmesan, tomat, dan lain-lain.

MSG sendiri dibuat dengan cara mengekstrak asam glutamat yang terkandung pada banyak bahan makanan alami tersebut.

Secara kimia, MSG berbentuk seperti bubuk crystalline berwarna putih yang mengandung 78 persen asam glutamat dan 22 persen gabungan dari sodium dan air.

Glutamat yang terkandung pada bahan makanan alami ini sama saja dengan glutamat dalam MSG.

Keduanya sama-sama menghasilkan rasa umami pada makanan, dan dicerna dengan cara yang sama oleh tubuh manusia.

Seperti dijelaskan oleh Amy Cheng Vollmer, seorang profesor biologi di Swarthmore College. MSG bagaimanapun dibuat dengan cara mengekstrak glutamat alami dari bahan makanan tertentu.

Ia membandingkannya dengan seseorang yang mengonsumsi suplemen zat besi versus seseorang yang mendapatkan zat besi dari bayam atau daging merah.

Mengonsumsi suplemen zat besi akan menciptakan jalan tol antara zat besi dengan aliran darah, yang tidak akan bisa kamu temukan di sumber zat besi alami.

Perbandingannya serupa dengan antara mengonsumsi MSG atau glutamat dalam bahan makanan alami.

Menurut Ellie Krieger, R. D. N yang juga merupakan host Ellie’s Real Good Food, salah satu masalah terkait MSG adalah pada makanan berkualitas buruk yang diberikan MSG untuk meningkatkan rasanya.

“Bukan MSG yang jadi masalah, tapi MSG bisa membuat makanan berkualitas buruk terasa enak sehingga lebih menarik dari yang seharusnya,” kata Ellie dalam Men’s Health.

Namun tetap saja, MSG harus dikonsumsi sesuai jumlah standar. Seperti kata Fernstorm, MSG tidak boleh dikonsumi berlebihan.

Dosis yang tepat akan memberikan rasa luar biasa pada makanan. Namun jika terlalu banyak, maka akan memberikan rasa yang tidak enak.

Hanya jika dosis yang dikonsumsi terlalu banyak dan orang-orang tersebut mengonsumsinya dalam keadaan perut yang kosong, yang bisa menyebabkan gejala tertentu. (Yoy)

Sumber : Kompas.com

Berita lainnya