Tuesday, 7-6-2022 08:29 98
Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sejumlah karyawan di dua perusahaan startup, LinkAja dan Zenius, dinilai terkait fenomena gelembung ekonomi yang pecah (bubble burst) serta keterbatasan jumlah perusahaan pendanaan atau venture capital.
Kondisi negatif dua perusahaan rintisan pada waktu bersamaan ini memicu pertanyaan publik; ada apa dengan startup RI? Apakah ini pertanda industri perusahaan rintisan domestik mulai 'goyang'?
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda curiga fenomena ekonomi bubble burst sedang melanda industri startup di Indonesia. Menurutnya, pertumbuhan perusahaan rintisan tak sebanding dengan angka perusahaan pendanaan.
"Kalau saya sih lebih memandangnya malah bisa ke bubble burst," ujar dia, kepada CNNIndonesia.com, Kamis (26/5), "Semakin banyak startup digital tapi perusahaan pendanaan tidak eksponensial penyalurannya karena semakin selektif juga".
Bubble burst bisa diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang terlalu tinggi, tetapi juga diiringi dengan kejatuhan yang relatif cepat.
"(Bubble burst ini adalah) ekonomi di suatu industri tumbuh terlalu cepat tapi perusahaan yang jatuh juga terlalu cepat dan banyak. Jadi pertumbuhannya terlalu eksponensial," jelasnya.
Tak hanya itu, Nailul menilai perusahaan pendanaan juga lebih selektif untuk menanamkan modal di suatu startup sekarang. Dengan demikian, peluang startup mendapatkan investor juga tak semudah sebelumnya.
"Jadi venture capital sudah selektif karena mau genjot keuntungan. Lihat saja contoh SoftBank kan sudah rugi banyak dari investasi di beberapa startup," tutur Nailul.
Selain itu, venture capital juga mulai wait and see karena The Fed yang terus mengerek suku bunga acuan hingga akhir 2022. Hal itu berpotensi mempengaruhi Bank Indonesia (BI) dalam mengatur suku bunga acuan di RI.
"Ketika ada kebijakan pengetatan uang (suku bunga acuan naik), maka aliran dana dari venture capital ikut terbatas. Mau pinjam ke bank pun pasti bunga mahal kan, makanya pasti akan selektif dalam pemilihan startup yang akan didanai," jelas Nailul.
Sementara, peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Ebi Junaedi menilai apa yang terjadi dengan Zenius dan LinkAja dipicu oleh kondisi makro saat ini. Maklum, ekonomi dunia dan domestik memang sedang diselimuti ketidakpastian cukup tinggi.
Dengan demikian, investor lebih selektif untuk menanamkan dana di startup. Berbeda dengan situasi beberapa tahun sebelumnya, di mana startup lebih mudah mendapatkan investor.
"Namun harus dilihat juga apakah memang ini kecenderungan menyeluruh ya, maksudnya apakah venture capital tidak ada yang agresif dengan kondisi makro saat ini," ujar Ebi.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (iDEA) Bima Laga mengatakan masing-masing perusahaan tentu punya alasan sendiri melakukan PHK terhadap karyawan. Hal ini biasanya menyangkut rencana bisnis ke depan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
"Namun jika dikaitkan sebagai antisipasi kenaikan bunga acuan The Fed, kami pikir tidak sejauh itu karena setiap pergerakan The Fed cenderung berpengaruh ke Indonesia pada investor asing," ungkap Bima.
Menurut dia, pertumbuhan industri digital di Tanah Air justru masih positif. Bahkan, ia memproyeksi startup masih tumbuh dalam beberapa tahun ke depan.
"Manajemen kedua perusahaan mungkin memiliki sudut pandang berbeda yang lebih selaras dengan strategi bisnis mereka ke depannya," ucap Bima.
Sebelumnya, kabar 'duka' diumumkan oleh dua startup, LinkAja dan Zenius yang melakukan PHK terhadap ratusan karyawan.
Kabar itu bermula datang dari Zenius, startup bidang pendidikan yang memangkas lebih dari 200 karyawan. Manajemen mengaku kinerja perusahaan turun di tengah gejolak ekonomi.
"Agar dapat beradaptasi dengan dinamisnya kondisi makro ekonomi yang mempengaruhi industri, Zenius melakukan konsolidasi dan sinergi proses bisnis untuk memastikan keberlanjutan," ungkap manajemen dalam keterangan resmi.
Kabar selanjutnya datang dari layanan keuangan digital LinkAja yang melakukan PHK terhadap sejumlah karyawan. Hal ini dilakukan dalam rangka reorganisasi sumber daya manusia (SDM).
"Penyesuaian organisasi SDM ini dilakukan atas dasar relevansi fungsi SDM tersebut pada kebutuhan dan fokus bisnis perusahaan ini," ujar Head of Corporate Secretary Group LinkAja Reka Sadewo.
Menurut Reka, akan ada beberapa perubahan signifikan yang akan dilakukan anak usaha Telkom ini, terutama berkaitan dengan fokus dan tujuan bisnis perusahaan. Hal tersebut akan berpengaruh pada beberapa aspek operasional perusahaan, salah satunya adalah reorganisasi SDM. (Yoy)
Sumber : CNN Indonesia